Minggu, 15 November 2009

MAKALAH FISIOLOGI TUMBUHAN

CAM : TANAMAN YANG PALING EFISIEN DALAM PENGGUNAAN AIR


Dosen Pengasuh :
Dra. Siti Zulaikha, M.P.


Oleh :
KELOMPOK 8
Wahyu Kurniawan / J1C107057




DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI S-1 BIOLOGI
BANJARBARU

2009
CAM : Tanaman yang Paling Efisien Dalam Penggunaan Air


Tanaman adalah mahluk hidup yang dapat makanannya sendiri dengan fotosintesis. Ada 3 jenis tanaman dilihat dari cara berfotosintesis dan gula yang dihasilkan. Tipe pertama adalah C3. C adalah lambang kimia untuk karbon, yang berarti tanaman tersebut menghasilkan gula berkarbon 3. Sekitar 80% tanaman didunia menggunakan proses ini. Mereka mengambil CO2 saat siang hari. Jenis kedua adalah C4. Sesuai dengan tipenya, tanaman ini menghasilkan gula berkarbon 4. Tipe C4 ini juga mengambil CO2, pada siang hari. Ada kurang lebih 15% tanaman yang mengunakan tipe ini (Budiarti, 2008) .
Tipe crassulacean acid metabolism ( CAM) merupakan tipe yang terakhir. Tanaman ini mengambil CO2 pada malam hari, dan mengunakannya untuk fotosistensis pada siang harinya. Meski tidak menguarkan oksigen dimalam hari, namun dengan memakan CO2 yang beredar, tanaman ini sudah membantu kita semua menghirup udara bersih, lebih sehat, menyejukkan dan menyegarkan bumi, tempat tinggal dan ruangan. Tumbuhan CAM yang dapat mudah ditemukan adalah nanas, kaktus, dan bunga lili (Budiarti, 2008) .
CAM merupakan adaptasi fotosintetik yang paling penting. Adaptasi fotosintetik kedua untuk kondisi yang gersang telah berkembang pada tumbuhan sukulen (tumbuhan penyimpanan air), bermacam-macam kaktus, nenas, dan perwakilan beberapa famili tumbuhan lainnya. Tumbuhan-tumbuhan ini membuka stomatanya pada malam hari dan menutupnya pada siang hari, yang merupakan seperti kebalikan perilaku tumbuhan lain. Menutup stomata selama siang hari membantu tumbuhan gurun menghemat air, tetapi juga mencegah CO2 memasuki daunnya. Selama malam hari, ketika stomata tumbuhan itu terbuka, tumbuhan ini mengambil CO2 dan memasukannya ke dalam berbagai asam organik. Cara fiksasi karbon ini disebut metabolisme asam krasulase, atau crassulacean acid metabolism (CAM) (Campbell, N. A, 2000).
Sel mesofil tumbuhan CAM menyimpan asam organik yang dibuatnya selama malam hari di dalam vakoulanya hingga pagi, ketika stomata tertutup. Pada siang hari, ketika reaksi terang dapat memasok ATP dan NADPH untuk siklus Calvin, CO2 dilepas dari asam organik yang dibuat pada malam hari itu sebelum dimasukkan ke dalam gula dalam kloroplas (Campbell, N. A, 2000).
Nama sukulen berasal dari bahasa Latin, succos, yang berarti juice. Kaktus dan lidah buaya termasuk dalam tanaman sukulen. Sesuai namanya, tanaman ini sanggup menyimpan makanan atau air di dalam tubuhnya sebagai cadangan. Makanan tersebut disimpan di dalam akar (misalnya pada Ceropegia), batang (pada kebanyakan kaktus), atau daun (pada tanaman Haworthia, Lithops) (Sri Lestari, 2007).
Stomata tumbuhan pada umumnya membuka saat matahari terbit dan menutup saat hari gelap, sehingga memungkinkan masuknya CO2 yang diperlukan untuk fotosintesis pada siang hari. Umumnya, proses pembukaan memerlukan waktu sekitar 1 jam, dan penutupan berlangsung secara bertahap sepanjang sore. Stomata menutup lebih cepat jika tumbuhan ditempatkan dalam gelap secara tiba-tiba. Tingkat cahaya yang tinggi mengakibatkan stomata membuka lebih besar (Salisbury, F. B & Ross, C. W, 1995).
Perilaku stomata yang unik akan mempengaruhi metabolisme CO2 yang berlangsung pada tumbuhan ini, metabolisme yang unik ini pertama kali diteliti pada tumbuhan dari familia Crassulaceae, maka metabolisme CO2 ini sering disebut sebagai Metabolisme Asam Crassulacean (Crassulacean Acid Metabolism). Pada saat sekarang telah diketahui bahwa metabolisme ini juga ditemui pada beberapa anggota dari 20 famili tumbuhan, termasuk Cactaceae, Orchidaceae, Bromeliaceae, liliaceae, dan Euphorbiaceae (Lakitan. B, 2004).
Berbagai spesies yang hidup di iklim kering, mempunyai daun tebal dengan nisbah permukaan terhadap volume yang cukup rendah, kutikula tebal, dan disertai laju transpirasi yang rendah. Spesies seperti ini sering digolongkan sebagai sukulen. Selain itu terdapat ciri-ciri yang lebih khusus terhadap tanaman sukulen, yaitu :
1. Tidak mempunyai lapisan sel palisade yang telah berkembang sempurna.
2. Sebagian besar sel fotosintesis daun atau batang adalah mesofil bunga karang (spongy).
3. Sel-selnya mempunyai vakuola yang cukup besar dibandingkan dengan lapisan tipis sitoplasma.
4. Terdapat sel bundle sheath tetapi sel tersebut tidak banyak berbeda dengan sel mesofil.
5. Terdapat sel seludang berkas tapi tidak jelas.
(Salisbury, F. B & Ross, C. W, 1995).

Perlu ditekankan bahwa tidak semua tumbuhan CAM adalah tumbuhan sukulen, sebaliknya juga tidak semua tumbuhan sukulen merupakan tumbuhan CAM. Kebanyakan tumbuhan halofita (tumbuhan yang beradaptasi pada tempat dengan salinitas tinggi) bukan merupakan tumbuhan CAM (Salisbury, F. B & Ross, C. W, 1995).
Tumbuhan CAM yang dapat mudah ditemukan adalah nanas, kaktus, dan lidah buaya, yaitu :












Gambar 1. Kaktus, Nanas, dan Lidah buaya sebagai Tanaman CAM

 Kaktus
Kaktus merupakan tumbuhan berduri dengan adaptasi tinggi. Tumbuhan berduri kaktus berasal dari kata Yunani kaktos. Artinya, tanaman berduri adalah Linneaus, ahli botani yang membuat klasifikasi tanaman, yang memasukkan kaktus ke dalam kelompok tumbuhan berduri atau Cactaceae. Kaktus merupakan tanaman sekulen, atau tanaman yang mampu menyimpan air pada batangnya (Yulianti, 2008).
Kaktus mudah melakukan penyesuaian dan bentuk-bentuk adaptasi pada tubuhnya. Contoh adaptasi ini bisa dilihat dengan jelas. Bila kondisi alamnya tidak sesuai, ukuran daun kaktus akan mengecil atau malah sama sekali tidak keluar daun. Perakarannya menyempit dan batang dijadikan tempat penyimpanan air. Batang kaktus dilapisi jaringan lilin yang dapat mengurangi penguapan, kondisi ini menjadikan kaktus mampu menyimpan air dan tahan kekeringan. Meski begitu, kaktus tetap perlu air untuk bertahan hidup (Yulianti, 2008).
Saat berada di daerah yang bersuhu panas dan tanah gersang, kaktus beradaptasi dengan cara membentuk kulit tubuh yang tebal dan berlapis lilin. Kaktus memiliki daun yang berubah bentuk menjadi duri sehingga dapat mengurangi penguapan air lewat daun. Tak ketinggalan, tumbuh bulu-bulu halus atau duri-duri yang tajam. Fungsinya jelas, mengurangi pengeluaran air dari (Yulianti, 2008).
 Nanas
Tumbuhan nanas termasuk tumbuhan kering yang menyimpan air. Ananas comosus termasuk tumbuhan CAM. Pada pemasukan pendahuluan CO2 kedalam asam organic, yang diikuti oleh transfer CO2 kedalam siklus Calvin hanya dipisahkan sementara. Dan fiksasi carbon ke dalam asam organic terjadi pada malam hari dan sering disebut metabolisme asam krasulase sedangkan siklus Calvin pada siang hari. Tumbuhan seperti nanas ini membuka stomata malam hari dan menutup stomatanya siang hari dan pada. Sel mesofilnya menyimpan asam organik yang dibuatnya didalam vakuola saat malam hari sampai pagi (Yulianti, 2008).
 Lidah Buaya
Lidah buaya tergolong tanaman holtilultura. Tanaman ini merupakan tanaman dengan batang yang pendek sekali, dengan tinggi sekitar 50 cm. Batang ini dikelilingi oleh daun-daun tebal berbentuk pedang dengan ujung-ujung runcing yang mengarah ke atas. Meskipun penampakannya seperti kaktus, tanaman ini tergolong tanaman sukulen, yaitu tanaman yang berdaun dan bergetah dari suku Liliaceae (Sri Lestari, 2007).
Selain perilaku stomata yang unik mempengaruhi metabolisme CO2 yang berlangsung pada tumbuhan ini , terdapat pula sifat metabolik yang istimewa dan keunikan dari CAM adalah pembentukan asam malat yang berlangsung pada malam hari dan penguraiannya pada siang hari. Pembentukan asam malat pada malam hari terlacak melalui rasa masam, diikuti dengan penguraian gula, pati, atau polimer glukosa yang mirip dengan pati (Salisbury, F. B & Ross, C. W, 1995).
Asam yang paling banyak terdapat pada tumbuhan CAM adalah asam malat, tapi asam sitrat dan asam isositrat yang disintesis dari asam malat terhimpun dengan jumlah yang lebih sedikit pada beberapa spesies. Walaupun demikian, asam sitrat dan asam isositrat biasanya hanya mengalami sedikit perubahan konsentrasi pada siang dan malam hari (Lakitan. B, 2004).
PEP karboksilase di sitosol tumbuhan CAM merupakan enzim yang berperan dalam penambatan C02 menjadi malat pada malam hari (berlawanan dengan aktivitasnya yang rendah pada tumbuhan C-4 pada saat gelap), tapi rubisko menjadi aktif pada siang hari, seperti pada tumbuhan C-3 dan C-4. Peranan rubisko serupa dengan fungsinya di seludang berkas tumbuhan C-4, yaitu menambat kembali C02 yang hilang dari asam organik, seperti misalnya asam malat (Salisbury, F. B & Ross, C. W, 1995).
Metabolisme CO2 pada tumbuhan sukulen tidak seperti lazimnya dan karena pertama kali diteliti pada anggota Crassulaceae yang disebut dengan CAM crassulacean acid metabolism) (Salisbury, F. B & Ross, C. W, 1995).
Sebuah model yang sesuai dengan pemahaman kita tentang penambatan CO2 pada tumbuhan CAM dapat dilihat pada gambar . Dengan penjelasan bahwa pada saat gelap (malam hari), pati dirombak melalui reaksi glikolisis sampai PEP terbentuk. C02 (lebih tepatnya HC03-) bereaksi dengan PEP membentuk asam oksaloasetat dengan bantuan enzim PEP karboksilase, yang kemudian direduksi menjadi asam malat oeh bantuan enxim malat dehidroginase yang bergantung pada NADH. Ion H+ dari asam malat diangkut ke vakuola pusat (dalam) yang besar oleh ATPase dan pompa pirofosfatase dan ion malat mengikuti H+ ke dalam vakuola. Disini, asam malat terhimpun kadangkala bahkan mencapai konsentrasi 0,3 M atau lebih, sampai fajar tiba (Salisbury, F. B & Ross, C. W, 1995).















Gambar 2. Metabolisme CAM

Selama siang hari, asam malat berdifusi secara pasif keluar dari vakuola dan di dalam sitosol asam malat didekarboksilasi untuk membebaskan kembali CO2 oleh salah satu atau lebih dari tiga mekanisme yang juga terdapat pada seludang berkas tumbuhan C-4. Mekanismenya bergantung terutama pada spesies tumbuhan CO2 yang dilepaskan menjadi sangat terkonsentrasi di dalam sel dan difiksasi kembali (tanpa fotorespirasi) oleh rubisiko menjadi 3-PGA pada daur Calvin yang kemudian mengarah kepada pembentukan sukrosa, pati, dan produk fotosintesis lainnya (Salisbury, F. B & Ross, C. W, 1995).
Jadi, tumbuhan CAM, seperti tumbuhan C-4, mula-mula menggunakan PEP karboksilase dan NADPH-malat dehidroginase untuk membentuk asam malat, kemudian mendekarboksilasi asam tersebut untuk melepaskan CO2 dengan salah satu dari tiga mekanisme, lalu menambat kembali CO2 menjadi produk daur Calvin dengan bantuan rubisko. Pada tumbuhan CAM, kedua proses tersebut terjadi pada sel yang sama, satu proses terjadi pada malam hari, sedangkan lainnya pada siang hari. Vakuola pusat yang besar menyimpan asam malat, kalau tidak akan menyebabkan pH sitoplasma terlalu rendah pada malah hari. Permeabilitas tonoplas yang rendah terhadap H+ hasil ionisasi asam malat di vakuola pastilah sangat penting, khususnya pada tumbuhan CAM, sebab pH vakuola sering mencapai 4 pada malam hari (Salisbury, F. B & Ross, C. W, 1995).
Laju fotosintesis berbagai spesies tumbuhan yang tumbuh pada berbagai daerah yang berbeda seperti gurun kering, puncak gunung, dan hujan tropika sangat berbeda. Perbedaan ini sebagian disebabkan oleh adanya keragaman air, tapi tiap spesies menunjukkan perbedaan yang besar pada kondisi khusus yang optimum bagi mereka (Salisbury, F. B & Ross, C. W, 1995).


Gambar 3. Mekanisme Fotosintesis

Spesies yang tumbuh pada lingkungan yang kaya sumberdaya mempunyai kapasitas fotosintesis yang jauh lebih tinggi daripada spesies yang tumbuh pada lingkungan dengan persediaan air, hara, dan cahaya yang terbatas. Kapasitas tertinggi ditemukan pada tumbuhan gurun setahun dan rumputan gurun bila air tersedia. Tumbuhan sukulen gurun yang tumbuh lambat dan menganut metabolisme asam crassulaceae (CAM) termasuk yang paling lambat laju fotosintesisnya (Salisbury, F. B & Ross, C. W, 1995).
Faktor yang mempengaruhi laju fotosintesis terbagi dua, yaitu :
1. Faktor Genetik
2. Faktor Lingkungan
(Lakitan. B, 2004).
Terdapat perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam fiksasi CO2 antara spesies tumbuhan. Berdasarkan perbedaan tersebut, tumbuhan dikelompokkan menjadi tumbuhan C-3, C-4, dan CAM. Perbedaan tersebut juga akan mempengaruhi kemampuan atau efisiensi tumbuhan dalam mensintesis karbohidrat. Perbedaan antara spesies, yaitu tumbuhan secara C-4 secara umum mempunyai laju fotosintesis yang tertinggi, sementara tumbuhan CAM memiliki laju fotosintesis yang terendah, sedangkan tumbuhan C-3 berada di antara kedua ekstrim tersebut (Lakitan. B, 2004).
Walaupun tumbuhan CAM ditentukan secara genetik, kemampuan ini dapat juga mempengaruhi lingkungan. Pada umumnya, CAM lebih diuntungkan pada hari yang panas dengan tingkat cahaya tinggi, malam yang dingin, dan tanah yang kering, suatu keadaan yang umum terdapat di gurun. Konsentrasi garam yang tinggi di dalam tanah, yang menyebabkan kekeringan osmotik, juga menguntungkan CAM (Salisbury, F. B & Ross, C. W, 1995).
Beberapa spesies (khususnya kaktus) dapat tetap bertahan pada keadaan kekeringan selama beberapa minggu dengan stomata tertutup, tanpa memperoleh atau kehilangan banyak CO2, tapi tetap menggunakan energi cahaya untuk fosforilasi pada siang hari. Yang lebih umum, tumbuhan CAM termasuk tumbuhan C-3 fakultatif, dan beralih ke penambatan CO2 lebih tinggi dengan cara fotosintesis C-3 setelah terjadi hujan badai pada siang hari, atau bila suhu malam tinggi. Dengan demikian, stomata tetap terbuka lebih lama pada siang hari (Salisbury, F. B & Ross, C. W, 1995).


PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Dari hasil data atau informasi yang telah diperoleh baik itu berdasarkan kepustakaan yang telah dilakukan dalam makalah ini, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Tumbuhan CAM umumnya adalah tumbuhan sukulen yang sangat efisien terhadap penguapan air pada tubuhnya, dan mengambil CO2 hanya pada malam hari.
2. Pada tumbuhan CAM terdapat sifat metabolik yang istimewa berupa pembentukan asam malat yang berlangsung pada malam hari dan penguraiannya pada siang hari.
3. Tumbuhan yang tumbuh pada lingkungan yang kaya sumberdaya mempunyai kapasitas fotosintesis yang jauh lebih tinggi daripada tumbuhan yang tumbuh pada lingkungan dengan persediaan air, hara, dan cahaya yang terbatas.
4. Tumbuhan CAM memiliki laju fotosintesis yang terendah daripada tumbuhan C3 dan C4.

1.2 Saran
Untuk mempermudah penyusunan makalah yang menyangkut tentang saraf dengan judul CAM : Tanaman Yang Paling Efisien Dalam Penggunaan Air diperlukan masukan-masukan yang membangun agar dapat menunjang kesempurnaan isi makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Budiarti. 2008. Tumbuhan Berduri dengan Adaptasi Tinggi.
http://www.sinarharapan.co.id,
Diakses tanggal 10 Februari 2009

Campbell, N. A; dkk. 2000. Biologi Edisi Kelima-Jilid 1. Erlangga. Jakarta.

Fella Sumendap. 2008. Kiat Sukses Berkebun Kaktus.
http://www.indosiar.com
Diakses tanggal 10 Februari 2009

Ina. 2009. Hormon dan Sistem Endokrin.
http://www.indonesiaindonesia.com/f/11222-hormon-and-sistem-endokrin/
Diakses tanggal 10 Februari 2009

Lakitan Benyamin. 2004. Dasar-Dasar Fistum. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Salisbury, F. B & Ross, C. W, 1995. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 1. Penerbit ITB. Bandung.

Salisbury, F. B & Ross, C. W, 1995. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. Penerbit ITB. Bandung.

Sri Lestari. 2007. Lidah Buaya Vs Gula Darah.
http://www.tumbuh.wordpress.com
Diakses tanggal 10 Februari 2009

Yulianti. 2008. Tanaman Sukulen Cantik di Taman Kering.
http://www.tabloidnova.com
Diakses tanggal 10 Februari 2009

Rabu, 11 November 2009

KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI DI DRYLANDS

Ekosistem adalah suatu komunitas yang saling berhubungan dalam semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan dan mikroba, termasuk manusia, dan lingkungan fisik seperti tanah, air dan udara di mana mereka berinteraksi). Ekosistem bisa besar atau kecil yang berhubungan dengan faktor biotik dan abiotik.
Ekosistem unsur yang paling komprehensif dari keanekaragaman hayati dan keanekaragaman hayati terkait erat dengan proses dan fungsi ekosistem. Fungsi ekosistem dan kesehatan sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia dan lingkungan. Konvensi tentang keanekaragaman hayati CBD dianggap sebagai pendekatan ekosistem sebagai mekanisme pengelolaan yang tepat untuk konservasi keanekaragaman hayati. Pendekatan ekosistem akan membantu untuk mencapai tiga tujuan dari Konvensi, yaitu pemanfaatan berkelanjutan, dan yang adil dan merata serta pembagian keuntungan yang keluar dari pemanfaatan sumber daya genetik. Pelestarian keanekaragaman hayati dicapai melalui mengintegrasikan gen, spesies dan ekosistem konservasi.
Beberapa keterbatasan dari pendekatan gen spesies dan konservasi membawa kita untuk memberikan perhatian penerapan pendekatan ekosistem dalam konservasi keanekaragaman hayati, yaitu pengakuan tidak memadai vitalitas fungsi ekosistem keanekaragaman hayati; spesifik lokasi juga penuh tanpa mempertimbangkan interlinkage dengan situs lain; kegagalan untuk mengintegrasikan budaya; ekonomi dan faktor-faktor sosial dalam keanekaragaman hayati; devaluasi barang dan jasa publik yang dapat diperoleh dari ekosistem; Inabilities untuk berkoordinasi dengan kepentingan sektoral terkait seperti pertanian, lingkungan hidup, kehutanan, perikanan, kesehatan, konservasi alam dll. Pendekatan ekosistem merupakan strategi terintegrasi untuk pengelolaan tanah, air dan kehidupan daya; untuk melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan sumber daya ekologi, masyarakat, dan ekonomi secara lestari juga untuk mempertahankan potensi produktif ekosistem.
Adapun prinsip - prinsip dalam pendekatan ekosistem, yaitu :
1. Tujuan pengelolaan tanah, air dan sumber daya hidup yang soal pilihan masyarakat.
2. Pengelolaan harus didesentralisasikan ke tingkat yang sesuai terendah.
3. Ekosistem mangers harus mempertimbangkan dampak (aktual atau potensial) dari mereka kegiatan yang berdekatan dan ekosistem lainnya.
4. Menyadari potensi keuntungan dari manajemen, biasanya ada kebutuhan untuk memahami dan mengelola ekosistem dalam konteks ekonomi.
5. Konservasi ekosistem struktur dan fungsi, dalam rangka mempertahankan jasa ekosistem, harus menjadi prioritas sasaran pendekatan ekosistem.
6. Ekosistem harus dikelola dalam batas-batas fungsi mereka.
7. Para pendekatan ekosistem harus dilakukan diambil pada saat yang tepat skala spasial dan temporal.
8. Mengenali berbagai skala temporal dan lag-efek yang menjadi ciri proses ekosistem, tujuan pengelolaan ekosistem harus ditetapkan untuk jangka istilah.
9. Manajemen harus menyadari bahwa perubahan tidak dapat dihindari.
10.Para pendekatan ekosistem harus mencari keseimbangan yang tepat antara, dan integrasi, konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati.
11.Para pendekatan ekosistem harus mempertimbangkan semua bentuk informasi yang relevan, termasuk ilmiah dan masyarakat adat dan pengetahuan lokal, inovasi dan praktek-praktek.
12.Para pendekatan ekosistem harus melibatkan semua sektor terkait masyarakat dan disiplin ilmu.
Berikut ini adalah kesenjangan utama yang diidentifikasi oleh Departemen dan akan diisi dengan pengambilan keputusan badan-badan dan masyarakat luas untuk menjamin konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati melalui pelaksanaan pendekatan ekosistem:
1. Ekosistem meningkatkan pemahaman tentang struktur dan fungsi ekosistem
2. Kebutuhan publikasi bangsa dari ekosistem dan bagaimana manfaat harus didistribusikan.
3. Penilaian layanan ekosistem sehingga gos, LSM, organisasi swasta dan masyarakat akan mengambil nilai ke dalam pertimbangan sebelum picik praktik manajemen dilaksanakan.
4. Melibatkan masyarakat setempat dalam pengelolaan ekosistem dan berbagi secara adil manfaat dan biaya penggunaan ekosistem.
5. Evaluasi potensi gundul atau menginvasi ekosistem bagi ekologi pemulihan.
6. Meluncurkan pendekatan baru untuk taman-taman dan kawasan lindung sebagai menciptakan link fisik taman dan kawasan lindung melalui koridor lanskap sehingga asli karakter spasial dari ekosistem dapat terus berfungsi.
7. Melibatkan semua pihak terkait dan sektor masyarakat serta ilmiah disiplin.
8. Analisis karakter ekosistem alam sebagai sarana untuk mengevaluasi kerentanan ekosistem untuk spesies invasive.
9. Membuat penilaian standar kesehatan ekosistem.
10.Membangun ekosistem nasional database dan jangka panjang pemantauan ekosistem protokol.
11.Kapasitas seperti pengembangan tenaga kerja khususnya ekosistem keahlian bersama-sama dengan logistik dan fasilitas laboratorium

KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI DI di INDONESIA
Sementara itu data dasar keanekaragaman hayati yang diperoleh dari survey terpadu di Indonesia, Thailand dan daerah cekungan (basin) Western Amazon dan Kamerun memberikan suatu gambaran lebih jauh tentang reaksi penjerapan karbon dan keanekaragaman hayati yang terjadi pada berbagai tingkat intentitas pemanfaatan lahan. Hal baru lainnya adalah ditemukannya suatu indikator umum dari pola reaksi tersebut diatas yang dapat diketahui dengan menggunakan Plant Functional Types (PFTs), yang dapat menggambarkan adaptasi tumbuhan terhadap perubahan fisik lingkungan. Kajian berbagai disiplin ilmu terkait yang dilakukan di dataran rendah Sumatra, Indonesia, berhasil membuktikan adanya hubungan yang sangat potensial dan bermanfaat antara struktur vegetasi, kelompok kunci jenis flora dan fauna, PTFs dan ketersediaan unsur hara tanah.
Di Kalimantan Tengah, para peneliti CIFOR juga melakukan kajian tentang dampak kegiatan pembalakan terhadap keanekaragaman struktur vegetasi, burung, dan mamalia kecil (tikus). Hasil sementara kajian yang membandingkan kondisi burung di lokasi bekas tebangan dan yang tidak ditebang menunjukkan bahwa pembalakan dengan sistem tebang pilih berdampak kurang nyata pada keanekaragaman dan jumlah jenisnya. Hal ini dipengaruhi diantara oleh rendahnya intensitas pembalakan. Dilain pihak kegiatan pembalakan dan faktor bentang alam (posisi topografi dan tingkat kebasahan) berpengaruh negatif terhadap pola struktur komunitas, komposisi jenis serta kelimpahan relatifnya.
Saat ini, banyaknya kekhawatiran yang timbul terhadap hilangnya hutan tropis berasal dari meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan sebagai gudang keanekaragaman hayati. Akan tetapi pengetahuan tentang keadaan/status dan luasan keanekaragaman hayati yang hilang akibat gangguan hutan masih sangat terbatas.
Penelitian CIFOR di bidang tersebut mencakup kajian diantaranya yaitu, penentuan dampak akibat adanya gangguan seperti kegiatan pembalakan, pemanenan hasil hutan non-kayu dan fragmentasi hutan di dalam kawan konservasi keanekaragaman hayati "in situ". Kegiatan ini bertujuan agar data yang diperoleh dari lokasi studi yang terwakili secara ecoregional dapat digeneralisasikan sehingga dapat digunakan untuk menghasilkan dan menguji model proses dan spasial.
Dalam sebuah proyek berskala luas, peneliti dari India, Thailand dan Indonesia melakukan kegiatan penelitian dengan bantuan CIFOR dan International Plant Genetic Resources Institute (IPGRI) yang bertujuan untuk menyelidiki pengaruh kegiatan manusia terhadap sumberdaya genetik hutan. Kegiatan yang mencakup berbagai bidang ilmu ini terdiri dari kajian terhadap komponen sumberdaya genetik, ekologi reproduksi jenis yang diteliti dan aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar lokasi hutan penelitian.
Di Malayasia, contohnya, meskipun berdasarkan temuan dinyatakan bahwa pembalakan terbukti berpengaruh pada semua jenis yang diteliti, tetapi hilangnya keanekaragaman hayati genetik tidak lebih dari 24 persen. Demikian pula hasil kajian dampak pemanenan kayu untuk keperluan papan dan bahan bakar di Thailand yang menunjukkan perbedaan nyata hanya jika pemanenan dilakukan dengan intensitas yang sangat tinggi. Sementara itu hasil penelitian yang dilakukan di Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa setelah pembalakan terjadi peningkatan yang nyata terhadap inbreeding jenis-jenis yang diteliti -hasil selanjutnya akan diselidiki lebih jauh pada jenis-jenis Dipterocarpaceae.
Pada tahun 1998, dengan masuknya seorang pakar dari Danish International Development Agency yaitu Dr. John Poulsen, CIFOR meluncurkan suatu gagasan baru dengan proyek yang dilaksanakan di Western Ghats, India. Penelitian yang memerlukan wawancara ekstensif terhadap masyarakat suku setempat dan non-suku ini, berupaya mengevaluasi dampak skala-bentang alam pemanenan hasil hutan non-kayu baik berupa flora dan fauna, termasuk burung, kupu-kupu, mamalia kecil, pohon dan tumbuhan bukan pohon.
Kegiatan lainnya yang merupakan bagian dari proyek tersebut di India menyebutkan bahwa keluarga miskin sangat tergantung pada kegiatan pengumpulan hasil hutan non-kayu. Dengan banyaknya hasil hutan non-kayu yang masuk ke pasar maka pemanenan cenderung dilakukan tanpa menghiraukan aspek kelestarian, demikian pula yang terjadi ditengah masyarakat asli yang secara tradisional penghidupannya tergantung dari produk tersebut. Akibatnya, permudaan beberapa jenis tumbuhan penting hampir tidak nampak di beberapa kawasan, sehingga hal ini mengancam menurunnya keanekaragaman genetik jenis-jenis yang bersangkutan.
Saat ini, banyaknya kekhawatiran yang timbul terhadap hilangnya hutan tropis berasal dari meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan sebagai gudang keanekaragaman hayati. Akan tetapi pengetahuan tentang keadaan/status dan luasan keanekaragaman hayati yang hilang akibat gangguan hutan masih sangat terbatas.
“Keanekaragaman Hayati untuk Masa Depan”. Mungkin makna kalimat ini harus dipahami secara utuh oleh manusia karena disadari atau tidak, eksploitasi terhadap sumber-sumber daya hayati sering tidak terkontrol sehingga memberikan dampak negatif terhadap kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Keanekaragaman hayati yang dimaksud disini adalah keanekaragaman habitat dan ekosistem termasuk proses yang terjadi didalamnya. Keanekaragaman hayati tidak hanya diartikan sama dengan jumlah spesies pada suatu tempat saja akan tetapi lebih kompleks dibanding kekayaan spesies. Manusia memanfaatkan kekayaan alam yang ada tidak hanya untuk generasi sekarang saja tetapi juga bagaimana caranya agar potensi yang ada masih bisa dinikmati oleh generasi mendatang. Secara umum pemanfaatan keanekaragaman hayati masih berorientasi untuk mendapatkan keuntungan ekonomis yang sebesar-besarnya tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan. Orasi ilmiah ini menguraikan pentingnya dukungan teknologi sebagai alat bantu dalam memonitor pemanfaatan sumber-sumber daya hayati yang berkelanjutan, disamping perangkat lainnya seperti kebijakan-kebijakan dan perangkat hukum. Teknologi yang dimaksud adalah teknologi penginderaan jauh, yaitu suatu teknologi yang dapat merekam dan menganalisa suatu obyek atau fenomena yang terjadi pada permukaan bumi dan atau di atas permukaan bumi. Dengan teknologi penginderaan jauh keberadaan sumber-sumber daya hayati dan kerusakan lingkungan akibat aktifitas manusia dapat diidentifikasi secara terus menerus dalam kurun waktu tertentu. Sebagai ilustrasi, kebakaran hutan Indonesia divisualisasikan dengan citra satelit. Ilustrasi ini diharapkan menjadi salah satu potret betapa pentingnya pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia melalui pengelolaan sumber-sumber daya hayati yang sistematik dan efisien menggunakan teknologi penginderaan jauh.


REFERENSI

World Resources 2000.
Http: / / www.epa.gov/region08/community_resources/steward/ecoapp.html

Keanekaragaman Hayati Nasional Strategi dan Rencana Aksi 2002. Institute of Biodiversity Konservasi dan Penelitian.

Konvensi Keanekaragaman Hayati 2004. A Hand Book of CBD.

Pendekatan ekosistem untuk Program Kesehatan Manusia Initiative. Internasional Development Centre. Ottawa, Kanada. Http: / / www.idrc.ca

Getachew Tesfaye dan Abiyot Berhanu 2004. Ekologi dan Pengelolaan Juliflora di Prosopis Afar dan Somali Daerah Serikat.

Getachew Tesfaye dan Berihun G / Medhin, 2004. Pendekatan ekosistem dan pengelolaan dan konservasi keanekaragaman hayati di Ethiopia.
MORFOLOGI LUMBA-LUMBA

Lumba-lumba, paus dan porpois dapat dikelompokkan dam sebuah ordo yaitu Catacea. Kata Catacea berasal dari bahasa latin yaitu cetus yang berarti hewan yang besar dan bahasa yunani yaitu ketos berarti monster laut (Carwadine, 1995).
Hewan-hewan dari ordo Cetacea adalah hewan menyusui yang sepanjang hidupnya ada di perairan dan telah melakukan berbagai adaptasi untuk kehidupan di lingkungan ini. Tubuhnya berbentuk seperti torpedo (streamline) tanpa sirip belakang. Sirip depannya mengecil dan memiliki sebuah ekor horisontal yang kuat untuk bergerak seperti baling-baling perahu. Lubang hidungnya (blowhole) berubah menjadi lubang peniup pada bagian atas kepalanya. Lubang ini berguna untuk pernapasan pada saat hewan itu berenang di permukaan air. Morfologi mamalia laut dari ordo Cetacea seperti terlihat dalam Gambar









Gambar : Morfologi Lumba-lumba

Carwadine et al. (1997) menerangkan ciri-ciri umum yang terdapat pada Cetacea yaitu mereka memiliki bentuk bagian tubuh yang berbeda dengan kebanyakan mamalia yang lain. Kebanyakan mamalia memiliki lubang hidung yang menghadap ke depan, tetapi Cetacea memiliki lubang hidung diatas kepala. Lebih ke belakang, terdapat cekungan di samping kepala yang merupakan posisi dari kuping namun tidak terdapat daun telinga. Cetacea memiliki leher yang pendek, tidak fleksibel dan pergerakan kepala yang terbatas. Di belakang kepala terdapat lengan depan yang berbentuk seperti sirip tanpa jari dan lengan. Bentuk seperti ikan yang terdapat pada bagian tubuh Cetacea adalah sirip dorsal dan sirip ekor (fluks). Sirip dorsal berguna untuk kestabilan dan pengaturan panas tubuh. Pada beberapa spesies, sirip dorsalnya kecil atau bahkan tidak dijumpai sama sekali. Fluks horizontal terdapat di ujung ekor dan ditunjang hanya dibagian tengah oleh bagian akhir tulang ekor (tulang belakang), dan bagian lainnya terdiri dari jaringan non tulang.
Menurut Reseck (1998), satu perbedaan mendasar antara ikan dan Cetacea adalah dari bentuk tubuh yaitu pada ekor, dimana ekor mamalia adalah horinzontal dan ketika berenang bergerak keatas dan kebawah dan dikombinasikan dengan sedikit gerakan memutar, sedangkan pada ikan ekornya berbentuk vertikal dan bergerak dari sisi ke sisi ketika berenang.
Masih banyak masyarakat menyebut Lumba-lumba sebagai ikan Lumba-lumba, karena hidup di air dan berenang bergerombol seperti ikan pada umumnya. Sebenarnya Lumbalumba adalah bangsa mamalia/satwa menyusui, sama seperti kambing maupun sapi.
Satwa Lumba-lumba dan paus dengan bentuk badan seperti ikan termasuk bangsa Cetacea yang hidup diperairan. Untuk memudahkan bergerak di air tubuh Lumba-lumba seperti torpedo atau streamline dan sangat hidrodinamis dengan ujung tubuhnya yang meruncing dan langsing sehingga bergerak dalam air tanpa hambatan yang berarti. Untuk bergerak dalam air, Lumba-lumba dilengkapi siri-sirip dada, sirip punggung dan posisi sirip ekornya mendatar tidak tegak/berdiri serta bergerak naik dan turun untuk membantu mendorong tubuhnya pada saat berenang. Tubuhnya stabil sekitar 37°C bernafas menggunakan paruparu, dilengkapi dengan sebuah lubang pernafasan yang berkatup dibagian atas kepala dan satwa ini memiliki satu set gigi yang sama seta tidak memiliki gigi seri.
Cetacea termasuk kedalam golongan hewan berdarah panas, sebagian besar energi tubuhnya dihabiskan untuk menstabilkan suhu tubuhnya. Rambut atau bulu pada mamalia laut berkurang atau bahkan menghilang, hal tersebut berhubungan dengan adaptasi mengurangi hambatan dalam pergerakan. Untuk kestabilan suhu, Cetacea memiliki lapisan lemak dibawah kulitnya. Lemak terdapat pula di bagian lain dari tubuh, pada organ seperti hati, jaringan otot dan didalam tulang dalam bentuk minyak, dengan jumlah sekitar 50 % dari berat tubuhnya (Evans 1987). lapisan lemak tersebut untuk mempertahankan kondisi tubuh tetap pada suhu 360-370 C, walaupun hidup pada lingkungan dengan suhu kurang dari 250 C dan mungkin dibawah 100